6 sifat Khawarij

Oleh MUHAMMAD ABDUL HAKIM HAMID

Khawarij mempunyai ciri-ciri dan sifat-sifat yang menonjol. Sebaik-baik orang yang meluruskan sifat-sifat ini adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhabarkan sifat-sifat kaum ini dalam hadits-haditsnya yang mulia.

Di sini akan dipaparkan penjelasan sifat-sifat tersebut dengan sedikit keterangan, hal itu mengingat terdapat beberapa perkara penting, antara lain :

  • Dengan mengetahui sifat-sifat ini akan terbukalah bagi kita ciri-ciri ghuluw (berlebih-lebihan) dan pelampauan batas mereka, dan tampaklah di mata kita sebab-sebab serta alasan-alasan pendorong yang menimbulkan hal itu.

Dalam hal yang demikian itu akan menampakkan faedah yang tak terkira.

  • Keberadaan mereka akan tetap ada hingga di akhir zaman, seperti dikhabarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu riwayat.

Oleh sebab itu, mengetahui sifat-sifat mereka adalah merupakan suatu perkara yang sangat penting.

  • Dengan mengetahui sifat mereka dan mengenali keadaannya akan menjaga diri dari terjatuh ke dalamnya.

Mengingatkan barangsiapa yang tidak mengetahui keburukan mereka, akan terperangkap di dalamnya.

Dengan mengetahui sifat mereka, akan menjadikan kita waspada terhadap orang-orang yang mempunyai sifat-sifat tersebut, sehingga kita dapat merawati orang yang tertimpa dengannya.

Berkenaan hal ini akan kami paparkan sifat-sifat tersebut berdasarkan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia.

  1. SUKA MENCELA DAN MENGANGGAP SESAT

Sifat yang paling nampak dari Khawarij adalah suka mencela terhadap para Aimatul Huda (para Imam), menganggap mereka sesat, dan menghukum atas mereka sebagai orang-orang yang sudah keluar dari keadilan dan kebenaran.

Sifat ini jelas tercermin dalam pendirian Dzul Khuwaishirah terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataanya :

‎فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اعْدِلْ

“Wahai Rasulullah berlaku adillah”.[1]

Dzul Khuwaishirah telah menganggap dirinya lebih wara’ daripada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menghukumi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang curang dan tidak adil dalam pembagian.

Sifat yang demikian ini selalu menyertai sepanjang sejarah. Hal itu mempunyai kesan yang sangat buruk dalam hukum dan amal sebagai akibatnya.

Berkata Ibnu Taimiyah tentang Khawarij :”Inti kesesatan mereka adalah keyakinan mereka berkenan dengan Aimmatul Huda (para imam yang mendapat petunjuk) dan jama’ah muslimin, yaitu bahwa Aimmatul Huda dan jama’ah muslimin semuanya sesat.

Pendapat ini kemudian diambil oleh orang-orang yang terkeluar dari sunnah, seperti Rafidhah dan yang lainnya. Mereka mengkategorikan apa yang mereka pandang kezaliman ke dalam kekufuran”.[2]

  1. BERPRASANGKA BURUK [SU’UDZAN]

Ini adalah sifat Khawarij lainnya yang tampak dalam hukum syaikh mereka Dzul Khuwaishirah si pandir dengan tuduhannya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ikhlas dengan berkata:

‎وَاللَّهِ إِنَّ هّذِهِ لَقِسْمَةٌ مَا عَدَلَ فِيْهَا وَمَا أُرِيْدَ فِيْهَا وَجْهُ اللَّه

“Demi Allah, sesungguhnya ini adalah suatu pembagian yang tidak adil dan tidak dikehendaki di dalamnya wajah Allah”.[3]

Dzul Khuwaishirah ketika melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi harta kepada orang-orang kaya, bukan kepada orang-orang miskin, ia tidak menerimanya dengan prasangka yang baik atas pembagian tersebut.

Ini adalah sesuatu yang menghairankan. Kalaulah tidak ada alasan selain pelaku pembagian itu adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam cukuplah hal itu mendorong untuk berbaik sangka.

Akan tetapi Dzul Kuwaishirah enggan untuk itu, dan berburuk sangka disebabkan jiwanya yang sakit. Lalu ia berusaha menutupi alasan ini dengan keadilan. Yang demikian ini mengundang tertawanya iblis dek terjebak dalam perangkapnya.

Seharusnya, seseorang itu menghisab diri, meneliti secara cermat dorongan tindak tanduk dan maksud tujuan serta waspada terhadap hawa nafsunya.

Hendaklah berjaga-jaga terhadap muslihat licik iblis, kerana dia banyak menghias-hiasi perbuatan buruk dengan bungkusan indah dan rapi, dan membaguskan tingkah laku yang keji dengan nama dasar-dasar kebenaran dan keagamaan.

Semoga kita terjaga dan terselamat diri dari tipu daya syaitan dan perangkap-perangkapnya.

Jika Dzul Khuwaishirah mempunyai sedikit saja ilmu atau sekelumit pemahaman, tentu tidak akan terjatuh dalam kubangan ini.

Berikut kami paparkan penjelasan dari para ulama mengenai keagungan pembagian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hikmahnya yang tinggi dalam menyelesaikan perkara.

Berkata Syaikh Islam Ibnu Taimiyah:

“Pada tahun peperangan Hunain, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi ghanimah (rampasan perang) Hunain pada orang-orang yang hatinya lemah (muallafah qulubuhum) dari penduduk Najd dan bekas tawanan Quraisy seperti ‘Uyainah bin Hafsah, dan baginda tidak memberi kepada para Muhajirin dan Anshar sedikitpun.

Maksud baginda memberikan kepada mereka adalah untuk mengikat hati mereka dengan Islam, karena keterkaitan hati mereka dengannya merupakan maslahat umum bagi kaum muslimin, sedangkan yang tidak baginda beri adalah karena mereka lebih baik di mata

Beliau dan mereka adalah wali-wali Allah yang bertaqwa dan seutama-utamanya hamba Allah yang shalih setelah para Nabi dan Rasul-rasul.

Jika pemberian itu tidak dipertimbangkan untuk maslahat umum, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memberi pada aghniya’ serta para pemimpin yang dita’ati dalam perundangan, dan akan memberikannya kepada Muhajirin dan Anshar yang lebih memerlukan dan lebih utama.

Oleh sebab inilah orang-orang Khawarij mencela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dikatakan kepada beliau oleh pelopornya :” Wahai Muhammad, berbuat adillah.

Sesungguhnya engkau tidak berlaku adil “. dan perkataannya :” Sesungguhnya pembagian ini tidak dimaksudkan untuk wajah Allah …..”.

Mereka, meskipun banyak shaum (berpuasa), shalat, dan bacaan Al-Qur’annya, tetapi keluar dari As-Sunnah wa Al-Jama’ah.

Memang mereka dikenal sebagai kaum yang suka beribadah, wara’ dan zuhud, akan tetapi tanpa disertai ilmu, sehingga mereka memutuskan bahwa pemberian itu semestinya tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang berhajat, bukan kepada para pemimpin yang dita’ati dan orang-orang kaya itu, jika didorong untuk mencari keridhaan selain Allah -menurut persangkaan mereka-.

Inilah kejahilan mereka, karena sesungguhnya pemberian itu menurut kadar maslahah agama Allah.

Jika pemberian itu akan semakin mengundang keta’atan kepada Allah dan semakin bermanfaat bagi agama-Nya, maka pemberian itu jauh lebih utama. Pemberian kepada orang-orang yang memerlukan untuk menegakkan agama, menghinakan musuh-musuhnya, memenangkan dan meninggikannya lebih agung daripada pemberian yang tidak demikian itu, walaupun yang kedua lebih memerlukan”. [4]

Untuk itu hendaklah seseorang menggunakan bashirah, lebih memahami fiqh dakwah dan maksud-maksud syar’i, sehingga tidak akan berada dalam kekeliruan dan kebingungan yang mengakibatkan akan terhempas, hilang dan berburuk sangka serta mudah mencela disertai dengan menegakkan kewajiban-kewajiban yang terpuji dan mulia.

  1. BERLEBIHAN DALAM BERIBADAH

Sifat ini telah ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :

‎يخَرُجُ قَوْمٌ مِنْ أُمَتيِ يَقْرَأُوْنَ الْقُرْآَنْ. لَيْسَ قِرَاءَتُكُمْ إِليَ قِرَاءَتِهِمْ بِشَيْءٍ. وَلاَ صَلاَتُكُمْ إِلىَ صَلاَتِهِمْ بِشَيْءٍ. وَلاَ صِيَامُكُمْ إِلىَ صِيَامِهِمْ بِشَيْءٍ

“Akan muncul suatu kaum dari umatku yang membaca Al-Qur’an, yang mana bacaan kalian tidaklah sebanding bacaan mereka sedikitpun, tidak pula shalat kalian sebanding dengan shalat mereka sedikitpun, dan tidak pula puasa kalian sebanding dengan puasa mereka sedikitpun”. [5]

Berlebihan dalam ibadah berupa puasa, shalat, dzikir, dan tilawah Al-Qur’an merupakan perkara yang masyhur di kalangan orang-orang Khawarij. Dalam Fathu Al-Bari, XII/283 disebutkan :”Mereka (Khawarij) dikenal sebagai qura’ (ahli membaca Al-Qur’an), kerana besarnya kesungguhan mereka dalam tilawah dan ibadah, akan tetapi mereka suka menta’wil Al-Qur’an dengan ta’wil yang menyimpang dari maksud yang sebenarnya. Mereka lebih mengutamakan pendapatnya, berlebih-lebihan dalam zuhud dan khusyu’ dan lain sebagainya”.

Ibnu Abbas juga telah mengisyaratkan pelampauan batas mereka ini ketika pergi untuk mendebat pendapat mereka.

Beliau berkata :”Aku belum pernah menemui suatu kaum yang bersungguh-sungguh, dahi mereka lebam karena seringnya sujud, tangan mereka seperti lutut unta, dan mereka mempunyai gamis yang murah, tersingsing, dan berminyak. Wajah mereka menunjukan kurang tidur karena banyak berjaga di malam hari”. [6]

Pernyataan ini menunjukkan akan ketamakan mereka dalam berdzikir dengan usaha yang keras.

Berkata Ibnul Jauzi :”Ketika Ali Radhiyallahu ‘Anhu meninggal, dikeluarkanlah Ibnu Maljam untuk dibunuh. Abdullah bin Ja’far memotong kedua tangan dan kedua kakinya, tetapi ia tidak mengeluh dan tidak berbicara.

Lalu dicelak kedua matanya dengan paku panas, ia pun tidak mengeluh bahkan ia membaca:

‎اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ﴿١﴾خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ

“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah”. [al-‘Alaq/96 : 1-2].

Hingga selesai, walaupun kedua-dua matanya meluluhkan air mata. Kemudian setelah matanya diubati, ia akan dipotong lidahnya, baru dia mengeluh.

Ketika ditanyakan kepadanya :”Mengapa engkau mengeluh ?. “Ia menjawab ;”Aku tidak suka bila di dunia menjadi mayat dalam keadaan tidak berdzikir kepada Allah”. Dia adalah seorang yang kehitam-hitaman dahinya bekas dari sujud, semoga laknat Allah padanya”. [7]

Mekipun kaum Khawarij rajin dalam beribadah, tetapi ibadah ini tidak bermanfaat bagi mereka, dan mereka pun tidak dapat mengambil manfaat darinya.

Mereka seolah-olah bagaikan jasad tanpa ruh, pohon tanpa buah, mengingat akhlaq mereka yang tidak terdidik dengan ibadahnya dan jiwa mereka tidak bersih kerananya serta hatinya tidak melembut.

Padahal disyari’atkan ibadah adalah untuk itu. Berfirman yang Maha Tinggi:

‎وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ

“….Dan tegakkanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar ……”. [al-Ankabut/29 : 45]

‎كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

” ….Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. [al-Baqarah/2 : 183]

Tidaklah orang-orang bodoh tersebut mendapatkan bagian dari qiyamu al-lail-nya kecuali hanya jaga saja, tidak dari puasanya kecuali lapar saja, dan tidak pula dari tilawah-nya kecuali parau suaranya.

Keadaan Khawarij ini membimbing kita pada suatu manfaat pengajaran seperti yang dikatakan Ibnu Hajar tentangnya :”Tidak cukuplah dalam ta’dil (menganggap adil) dari keadaan lahiriahnya, walau sampai yang dipersaksikan akan keadilannya itu pada puncak ibadah, miskin, wara’, hingga diketahui keadaan batinnya”. [8]

  1. KERAS TERHADAP KAUM MUSLIMIN

Sesungguhnya kaum Khawarij dikenal bengis dan kasar, mereka sangat keras dan bengis terhadap Muslimin.

Bahkan, kekasaran mereka telah sampai pada darjat sangat tercela, iaitu menghalalkan darah dan harta kaum Muslimin serta kehormatannya.

Mereka juga membunuh dan menyebarkan ketakutan di tengah-tengah kaum Muslimin. Adapun para musuh Islam murni dari kalangan penyembah berhala dan lainnya, mereka mengabaikan, membiarkan serta tidak menyakitinya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan sifat mereka ini dalam sabdanya :

‎يَقْتُلُوْنَ أَهْلَ اْلإِسْلاَم وَيَدَعُوْنَ أَهْلَْ اْلأَوْثَانِ

” ….Membunuh pemeluk Islam dan membiarkan penyembah berhala ….”. [9]

Sejarah telah mencatat dalam lembaran-lembaran hitamnya tentang Khawarij berkenan dengan cara mereka ini.

Di antara kejadian yang mengerikan adalah kisah sebagai berikut :”Dalam perjalanannya, orang-orang Khawarij bertemu dengan Abdullah bin Khabab.

Mereka bertanya :”Apakah engkau pernah mendengar dari bapakmu suatu hadits yang dikatakan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ceritakanlah kepada kami tentangnya”.

Berkata: “Ya, aku mendengar dari bapakku, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang fitnah. Yang duduk ketika itu lebih baik dari pada yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari pada yang berjalan, dan yang berjalan lebih baik dari yang berlari. Jika engkau menemukannya, hendaklah engkau menjadi hamba Allah yang terbunuh”.

Mereka berkata :”Engkau mendengar hadits ini dari bapakmu dan memberitakannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?”.

Beliau menjawab :”Ya”. Setelah mendengar jawaban tersebut, mereka mengajaknya ke hulu sungai, lalu memenggal lehernya, maka mengalirlah darahnya seolah-olah seperti tali terompah. Lalu mereka membelah perut budak wanitanya dan mengeluarkan isi perutnya, padahal ketika itu sedang hamil.

Kemudian mereka datang ke sebuah pohon kurma yang lebat buahnya di Nahrawan. Tiba-tiba jatuhlah buah kurma itu dan diambil oleh salah seorang di antara mereka lalu ia masukkan ke dalam mulutnya.

Berkatalah salah seorang di antara mereka. “Engkau mengambil tanpa dasar hukum, dan tanpa harga (tidak membelinya dengan sah)”. Akhirnya ia pun meludahkannya kembali dari mulutnya.

Salah seorang yang lain mencabut pedangnya lalu mengayun-ayunkannya. Kemudian mereka melewati babi milik Ahlu Dzimmah, lalu ia penggal lehernya kemudian diseret moncongnya. Mereka berkata, “Ini adalah kerusakan di muka bumi”. Setelah mereka bertemu dengan pemilik babi itu maka mereka ganti harganya”. [10]

Inilah sikap kaum Khawarij terhadap kaum muslimin dan orang-orang kafir. Keras, bengis, kasar terhadap kaum muslimin, tetapi lemah lembut dan membiarkan orang-orang kafir.

Jadi, mereka tidak dapat mengambil manfaat dari banyaknya tilawah dan dzikir mereka, mengingat mereka tidak mengambil petunjuk dengan petunjuk-Nya dan tidak menapaki jalan-jalan-Nya.

Padahal, sang Pembuat Syari’at telah menerangkan bahwa syari’atNYA itu mudah dan lembut.

Dan sesungguhnya yang diperintahkanNYA supaya bersikap keras terhadap orang kafir dan lemah lembut terhadap orang beriman. Tetapi orang-orang Khawarij itu sebaliknya [11].

  1. SEDIKITNYA PENGETAHUAN MEREKA TENTANG FIQIH

Sesungguhnya kesalahan Khawarij yang sangat besar adalah kelemahan mereka dalam penguasaan fiqih terhadap Kitab Allah dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Yang kami maksudkan adalah buruknya pemahaman mereka, sedikitnya tadabbur dan merasa terikat dengan golongan mereka, serta tidak menempatkan nash-nash dalam tempat yang benar.

Dalam masalah ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan kepada kita dalam sabdanya.

‎يَقْرَءُوْنَ الْقُرآنْ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيْهُمْ

“…Mereka membaca Al-Qur’an, tidak melebihi kerongkongannya”.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mempersaksikan akan banyaknya bacaan/tilawah mereka terhadap Al-Qur’an, tetapi bersamaan dengan itu mereka dicela.

Kenapa? Kerana mereka tidak dapat mengambil manfaat darinya disebabkan kerosakan pemahaman mereka yang tumpul dan penggambaran yang salah yang menimpa mereka.

Oleh karenanya mereka tidak dapat membaguskan persaksiannya terhadap wahyu yang cemerlang lalu terjatuh dalam kenistaan yang abadi.

Berkata Al-Hafidzh Ibnu Hajar:

“Berkata Imam Nawawi, bahwa yang dimaksud yaitu mereka tidak ada bagian kecuali hanya melewati lidah mereka, tidak sampai pada kerongkongan mereka, apalagi ke hati mereka. Padahal yang diminta adalah dengan men-tadaburi-nya supaya sampai ke hatinya”. [12]

Kerosakan pemahaman yang buruk dan dangkalnya pemahaman fiqh mereka mempunyai bahaya yang besar. Kerosakan itu telah banyak membingungkan umat Islam dan menimbulkan luka yang berbahaya.

Di mana mendorong pelakunya pada pengkafiran orang-orang shalih, menganggap mereka sesat serta mudah mencela tanpa alasan yang benar.

Akhirnya, timbullah dari yang demikian itu perpecahan, permusuhan dan peperangan.

Oleh sebab itu, Imam Bukhari berkata:

”Adalah Ibnu Umar menganggap mereka sebagai Syiraaru Khaliqah (seburuk-buruk mahluk Allah)”.

Dan dikatakan bahwa mereka mendapati ayat-ayat yang diturunkan tentang orang-orang kafir, lalu mereka kenakan untuk orang-orang beriman”. [13]

Ketika Sa’id bin Jubair mendengar pendapat Ibnu Umar itu, ia sangat gembira dengannya dan berkata:

“Sebahagian pendapat Haruriyyah yang diikuti orang-orang yang menyerupakan Allah dengan mahluq (Musyabbihah) adalah firman Allah Yang Maha Tinggi.

‎وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. [al-Maaidah/5 : 44].

Dan mereka baca bersama ayat di atas :

‎ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ

“Kemudian orang-orang yang kafir terhadap Rabb-Nya mempersekutukan”. [al-An’aam/6 : 1].

Jika melihat seorang Imam menghukumi dengan tidak benar, mereka akan berkata :”Ia telah kafir, dan barangsiapa yang kafir berarti menentang Rabb-Nya dan telah mempersekutukan-Nya, dengan demikian dia telah musyrik”. Oleh karena itu mereka melawan dan memeranginya. Tidaklah hal ini terjadi, melainkan karena mereka menta’wil (dengan ta’wil yang keliru, -pen) ayat ini…”.

Berkata Nafi’:”Sesungguhnya Ibnu Umar jika ditanya tentang Haruriyyah, beliau menjawab bahwa mereka mengkafirkan kaum muslimin, menghalalkan darah dan hartanya, menikahi wanita-wanita dalam ‘iddahnya. Dan jika di datangkan wanita kepada mereka, maka salah seorang di antara mereka akan menikahinya, sekalipun wanita itu masih mempunyai suami. Aku tidak mengetahui seorang pun yang lebih berhak diperangi melainkan mereka”.[14]

Imam Thabari meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia menyebutkan tentang Khawarij dan apa yang ia dapati ketika mereka membaca Al-Qur’an dengan perkataannya :”Mereka beriman dengan yang muhkam dan binasa dalam ayat mutasyabih”. [15]

Pemahaman mereka yang keliru itu mengakibatkan mereka menyelisihi Ijma’ Salaf dalam banyak perkara, hal itu disebabkan oleh kebodohan mereka dan kekaguman terhadap pendapat mereka sendiri, serta tidak bertanya kepada Ahlu Dzikri dalam perkara yang mereka samar atasnya.

Sesungguhnya kerosakan pemahaman mereka yang dangkal dan sedikitnya penguasaan fiqh menjadikan mereka sesat dalam istimbat-nya, walaupun mereka banyak membaca dan berdalil dengan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabawi, akan tetapi tidak menempatkan pada tempatnya. Benarlah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memberitakan tentang mereka.

‎يَقْرَأُوْنَ الْقُرْآنْ، يَحءسَبُوْنَ أَنْهُ لَهُم وَهُوَ عَلَيْهِمْ

“….Mereka membaca Al-Qur’an, mereka menyangka hal itu untuk mereka padahal atas mereka”.[16]

‎يَقُوْلُوْنَ مِنْ قَوْلِ خَيْرِ الْبَرِيَّةِ، يَقْرَءُوْنَ الْقُرآنْ لاَ يُجَاوِزُ حَنَا جِرَهِمْ

“Mereka berkata dengan ucapan sebaik-baik mahluq dan membaca Al-Qur’an, tetapi tidak melebihi dari kerongkongan mereka”.[17]

‎يُخسِنُوْنَ القِيْلَ، وَيَسِيْنُوْنَ الفِعْلَ، يَدْعُوْنَ إِلَى كِتَابِ اللَّهِ وَلَيْسوْا مِنْهُ فِي شَيْءٍ

“Membaguskan perkataannya tetapi buruk perbuatannya …. Mengajak kepada kitab Allah, tetapi tidaklah mereka termasuk di dalamnya sedikit pun”. [18]

  1. MUDA UMURNYA DAN BERAKAL BURUK

Termasuk perkara yang dipandang dapat mengeluarkan dari jalan yang lurus dan penuh petunjuk adalah umur yang masih muda (hadaatsah as-sinn) dan berakal buruk (safahah al-hil). Yang demikian itu sesuai dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

‎سَيَخْرُجُ فِي آخِرِ الزَّمانِ قَومٌ أَحْدَاثُ اْلأَسْنَانِ سُفَهَاءُ اْلأَحْلاَمِ يَقُوْلُوْنَ قَوْلَ خَيْرِ الْبَرِيَّةِ يَقْرَؤُونَ اْلقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنَ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ

“Akan keluar pada akhir zaman suatu kaum, umurnya masih muda, sedikit ilmunya, mereka mengatakan dari sebaik-baik manusia. Membaca Al-Qur’an tidak melebihi kerongkongannya. Mereka terlepas dari agama seperti terlepasnya anak panah dari busurnya”. [19]

Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar :” Ahdaatsul Asnaan artinya “mereka itu pemuda (syabaab)”, dan yang dimaksud dengan sufaha-a al-ahlaam adalah “akal mereka rusak (‘uquluhum radi-ah). Berkata Imam Nawawi ;”Sesungguhnya tatsabut (kemapanan) dan bashirah (wawasan) yang kuat akan muncul ketika usianya sempurna, banyak pengalaman serta kuat akalnya”. [20]

Umur yang masih muda, jika disertai dengan akal yang rosak akan menimbulkan perbuatan yang asing dan tingkah laku yang aneh, antara lain :

  1. Mendahulukan pendapat mereka sendiri daripada pendapat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya yang mulia Radhiyallahu ‘alaihim.
  2. Meyakini bahwa diri merekalah yang benar, sedangkan para imam yang telah mendapat petunjuk itu salah.
  3. Mengkafirkan sebagian atas sebagian yang lain hanya karena perbedaan yang kecil saja.

Ibnul Jauzi menggambarkan kepandiran dan kerosakan mereka dengan perkataannya:

“Mereka menghalalkan darah anak-anak, tetapi tidak menghalalkan makan buah tanpa dibeli.

“Berpayah-payah untuk beribadah dengan tidak tidur pada malam hari (untuk shalat lail) serta mengeluh ketika hendak dipotong lidahnya karena khuatir tidak dapat berzikir kepada Allah, tetapi mereka membunuh Imam Ali Radhiyallahu ‘anhu dan menghunus pedang kepada kaum Muslimin (sebagaimana keluhan Ibnu Maljam -pen).

Untuk itu, tidak menghairankan bila mereka puas terhadap ilmu yang telah dimiliki dan merasa yakin bahwa mereka lebih pandai/alim daripada Ali Radhiyallahu ‘anhu.

Hingga Dzul Khuwaishirah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Berbuat adillah, sesungguhnya engkau tidak adil”. Tidak sepatutnya Iblis dicontoh dalam perbuatan keji seperti ini. Kami berlindung kepada Allah dari segala kehinaan”. [21]

Wallahu a’lam bish-Shawab

Maraji’ :

  1. Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dikumpulkan dan disusun oleh Abdurrahman bin Qasim dan anaknya, Daarul Ifta’, Riyadh, cet. I tahun 1397H.
  2. Fathu al-Baari bi Syarhi Shahih al-Bukhari, Imam al-Hafidzh Ahmad bin Ali bi Hajar Majdi al-Asqalani, susunan Muhammad Fu’ad Abdul Baaqi, penerbit : Salafiyah.
  3. Shahih Muslim bin Syarhi an-Nawawi, Abu Zakariya Yahya bin Syarf an-Nawawi Daarul at-Turats al-Arabi, Beirut, cet. II. Tahun 1392H.
  4. Tablis Iblis, oleh Imam Jamaluddin Abdul Farj Abdurahman bin al Jauzi, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyah-Beirut, cet. II Tahun 1368H
  5. Al-Bidayah wa an-Nihayah, oleh al-Hafidzh ‘Imaddudin Abul Fida’ Ismail bin Katsir, cet. Maktabah al-Ma’arif, Beirut, cet. II Tahun 1977M.
  6. Al-I’tisham, al-‘Allaamah Abu ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhami asy-Syathibi, Tahqiq Muhammad Rasyid Ridha, cet. al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, Qaahirah.
  7. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Aayi al-Qur’an, al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Tabhari al-Halabi, Qahirah.

(Dinukil dari kitab Zhahirah al-Ghuluw fi ad-Dien fi al-‘Ashri al-Hadits, hal 99-104, Muhammad Abdul Hakim Hamid, cet I, th 1991, Daarul Manar al-Haditsah, penerjemah Aboe Hawari)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 14/Tahun ke-2 (14/II/1416-1995). Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]